Rabu, 26 September 2012

Studi Ekologi Organisme Hutan Mangrove

STUDI EKOLOGI ORGANISME HUTAN MANGGROVE DI PULAU    
DOMHOTU DESA SI DANGOLI DEHE KECAMATAN JAILOLO SELATAN 
                                                            KABUPATEN HALMAHERA BARAT

                                                                                   OLEH
                                                                      MUAMMAR A. SAHAB
                                                                       NPM: 051607010




                                       PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
                                                FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
                                                                 UNIVERSITAS KHAIRUN
                                                                              TERNATE
                                                                                  2011








                                                                 I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
     Wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki keanekaragaman yang tertinggi di dunia. tingginya keanekaragaman hayati bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang di pengaruhi oleh massa air dari dua samudra, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya. Keanekaragaman hayati pesisir dan lautan hadir dalam bentuk ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun, biota, estuari, pantai terbuka, dan laut jeluk (laut dalam). (Supriharyono, 2007).
        Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah penting yang memiliki fungsi yaitu secara fisik, hutan mangrove menjadi daerah pelindung daratan dari pengaruh abrasi/erosi ombak. Secara kimia berfungsi menyaring bahan pencemar (polutan) terutama bahan-bahan organik dan sumber energi bagi ketersediaan detritus yang merupakan sumber makanan biota perairan. Secara biologi, berperan sebagai daerah asuhan, daerah pemijahan, dan daerah mencari makan berbagai jenis ikan, udang dan biota lainnya, sedangkan secara estetika dan pendidikan hutan mangrove berfungsi sebagai tempat pariwisata dan pendidikan (Bengen, 2003).
            Besarnya peranan hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup diperairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap hutan mangrove tersebut. Salah satu kelompok organime aqutik yang dominan dan sekaligus menjadikan hutan mangrove sebagai habitatnya adalah moluska terutama dari kelas gastropoda. Selain organisme tersebut, tubuhan laut terutama makroalga juga diketahui memanfaatkan hutan mangrove sebagai habitat alaminya.
       Supriharyono (2000) menyatakan bahwa moluska adalah merupakan organisme yang banyak ditemukan di daerah hutan mangrove. Salah satu kelompok organisme molusca penyusun fauna ekosistem mangrove dengan tingkat keanekaragaman jenis yang tinggi adalah gastropoda. Gastropoda adalah yang paling banyak jenisnya, dimana sekitar 35.000 spesies yang telah diketahui dan kurang dari 15.000 spesies dalam bentuk fosil (Barnes, 1967 dalam Noor dkk, 1999). Di Indonesia terdapat sekitar 1500 jenis yang menempati berbagai jenis habitat sehinga di anggap sebagai kelompok yang paling sukses (Nontji, 2002). Budiman  (1985)  dalam Noor, dkk  (1999), mencatat sebanyak 91 jenis moluska  hanya dari satu tempat saja di Seram Maluku jumlah tersebut termasuk 33 jenis yang biasanya terdapat pada karang, akan tetapi juga sering mengunjungi daerah mangrove. Di Halmahera Maluiu Utara ditemukan 40 jenis dimana sebagian besarnya adalah hidup di daerah hutan mangrove.
       Selain organisme tersebut, terdapat pula tumbuhan laut yang juga di ketahui memanfaatkan hutan mangrove sebagai habitat alaminya yaitu makroalga. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan  oleh Majid, dkk (2007) di Kecamatan Moti Kota Ternate, menemukan makroalga dapat tumbuh pada ekosistem hutan mangrove dengan jumlah spesies yang ditemukan sebanyak 10. Sedangkan Masita (2009) menemukan 6 spesies pada hutan mangrove Pulau Raja.
         Pulau Donrotu adalah merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan secara adminitratif masuk dalam wilayah Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halamahera Barat. Pulau ini memiliki habitat alami penting wilayah pesisir dan lautan seperti ekosistem hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Khsusnya ekosistem hutan mangrove mempunyai peran yang sangat penting bagi berbagai jenis organisme laut pada umunya dan khususnya lagi  moluska (gastropoda) yang hidup di perairan pulau Dondotu. Namun informasi yang berkaitan dengan tingkat keanekaragaman jenis  dari ketiga sumberdaya tersebut hinga sekarang masih sangat minim. Olehnya itu, upaya untuk dapat mengungkapkan  potensi sumberdaya organisme, dalam hal ini moluska (gastropoda) serta makroalga di perairan pulau Donrotu adalah merupakan suatu langkah yang sangat penting terutama dalam rangka pemanfaatan secara lestari sehinga keberadaan sumberdaya tersebut  tetap terjaga dari upaya pemanfaatan yang tidak berkelanjutan (over exploitasi). Berdasarkan latar belakang tersebut di atas sangat penting untuk dilakukanya penelitian dengan judul ” Studi Ekologi Organisme Hutan Mangrove Di Pulau Donrotu Desa Sidangoli Dehe Kecamatan Jailolo Selatan Kabupeten Halamahera Barat”.

1.2. Tujuan dan Manfaat Praktikum
Praktikum yang dilakukan ini bertujuan : 
1. Mengetahui komposisi jenis dan distribusi organisme yang hidup di perairan hutan mangrove Pulau  Donrotu.
2. Mengetahui struktur komunitas yang meliputi, Kepdatan Jenis, Pola Sebaran, Keanekaragaman Dominasi, Kemerataan dan Kesamaan Komunitas.
        Adapun manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi kepada pihak-pihak yang terkait terutama masyarakat di sekitarnya tentang jenis-jenis dan keanekaragaman jenis  sumberdaya gastropoda dan Makroalga yang hidup di kawasan perairan hutan mangrove di Pulau Donrotu serta dapat dijadikan sebagai data pendahuluan untuk penelitian-penelitian  selanjutnya.

                                                    II.  TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Gastropoda
     Di perairan Indonesia dapat ditemukan lebih dari 20.000 jenis (Dharma, 1988). Berdasarkan organ pernafasannya maka Gastropoda menurut Oemajati (1990) dibagi menjadi tiga sub kelas yaitu :
1. Sub kelas Prosobranchia
      Gastropoda yang termasuk dalam sub kelas ini memiliki dua buah insang yang terletak di anterior. Sistem syaraf membentuk angka delapan tentakel berjumlah dua buah, cangkang umumnya tertutup oleh overkulum.
Sub kelas ini dibagi lagi kedalam tiga ordo yaitu :
     OrdoArcheogastropoda, yaitu berjumlah satu atau dua buah, tersusun dalam dua baris filament, jantung beruang dua. Contoh ordo ini adalah trochus.
    Ordo Mesogastropoda, yaitu satu buah tersusun dalam satu baris filamen, jantung beruang satu, mulut dilengkapi radula yang berjumlah tujuh buah dalam satu baris. Contoh ordo ini adalah Lambis, Turitella.
    Ordo Neogastropoda, yaitu insang sebuah tersusun dalam satu baris filament, jantung beruang satu, mulut dilengkapi radula tiga buah dalam satu baris. Contoh ordo ini adalah Murek.
2. Sub kelas Opistobranchia
      Kelompok gastropoda ini memiliki dua insang terletak di posterior, cangkang umumnya tereduksi dan terletah di dalam mantel, jantung satu ruangan dan reproduksi berumah satu.
Sub kelas ini dibagi dalam delapan ordo, yaitu :
    Ordo Cephalaspidea, yaitu cangkang terletak eksternal, besar dan pipih, beberapa jenis mempunyai cangkang internal. Contoh ordo ini adalah Bulla.
    Ordo Anaspidea, yaitu cangkang tereduksi bila ada terletak internal, rongga mantel pada sisi kanan menyempit dan tertutup oleh parapodia yang lebar. Contoh ordo ini adalah Aplysia.
    Ordo Thecosonata, yaitu cangkang berbentuk kerucut mantel lebar, dan merupakan hasil modifikasi dari kaki yang berfungsi sebagai alat renang bersifat planktonik. Contoh ordo ini adalah Cavolinia.
    Ordo Gimnosonata, yaitu tanpa cangkang dan mantel, parapodia sempit, berukuran mikroskoptik dan bersifat planktonik. Contoh ordo ini adalah Clione.
    Ordo Nataspide, yaitu cangkang terletak internal, eksternal atau cangkang, rongga mantel tidak ada. Contoh ordo ini adalah Umbraculum.
    Ordo Acocchilideacea, yaitu tubuh kecil melipiti spikula, tanpa cangkang, insang ataupun gigi. Contoh ordo ini adalah Hedylopis.
    Ordo Sacoglosa, yaitu insang dengan atau tanpa cangkang, radula mengalami modifikasi menjadi alat penusuk dan penghisap alga. Contoh ordo ini adalah Berthelinia.
    Ordo Nudibranchia, yaitu cangkang tereduksi, tanpa insang sejati, bernafas dengan insang sekunder yang terdapat disekeliling anus, permukaan dorsal. Contoh ordo ini adalah Glossodaris.
3. Sub KelasPulmonata
       Sub kelasPulmonata bernafas dengan paru-paru, cangkang berbentuk spiral, kepala dilengkapi dengan satu atau dua pasang tentakel, sepasang diantaranya mempunyaoi mata, rongga mantel terletak di anterior, organ reproduksi hermaprodit atau berumah dua.
Sub kelas ini dibagi menjadi dua ordo, yaitu :
    Ordo Stylomotophora, yaitu tentakel dua pasang, sepasang diantaranya mata di ujungnya, umumnya hidup terrestrial. Contoh ordo ini adalah Achatina fulica.
    1Ordo Basommataphora, yaitu tentakel berjumlah dua pasang, sepasang diantaranya mempunyai mata depannya, kebanyakan anggotanya hidup di air tawar. Contoh ordo ini adalah Physa.
2.2. Fungsi dan Potensi Hutan Mangrove
     Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Besarnya peranan hutan mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan baik yang hidup di perairan, di atas tajuk-tajuk pohon mangrove sarta ketergantungan manusia terhadap hutan mangrove.
      Sugiarto dan Ekariyanto (1996) menyatakan bahwa hutan mangrove memiliki barbagai fungsi yaitu : (1) sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin, (2) sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak, dan daerah asuhan berbagai jenis biota, (3) sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif dan (4) sebagai sumber bahan baku/indutri.
     Secara fisik hutan mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus air dan ombak, sehinga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Selain itu juga sebagai penyangga daratan dari rembesan air laut serta penghalang angin. Keadaan hutan mangrove yang relatif stabil dan tenang  dan terlindung dan sangat subur maka aman bagi biota laut pada umunya.
     Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaring makanan ekosistem  hutan mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikroorganisme di uraikan menjadi partikel-partikel detritus seperti cacing, dan mysidaceace (udang –udang kecil/ rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi makanan larva, udang dan hewan lainya. Pada tingkat berikutnya hewan-hewan tersebut  menjadi makanan bagi hewan-hewan lainya yang lebih besar, dan begitu seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai  jenis bahan makanan lainya yang berguna bagi kepentingan manusia (Sugiharto dan Ekariyanto, 1996).
     Fungsi penting lain dari hutan mangrove adalah manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitar yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan produksi berbagai jenis hasil hutan dan hasil ikutan lainnya. Saenger, dkk (1983) dalam Dahuri, dkkl (2001) mengidentifikasi kurang lebih 70 macam keguanaan pohon mangove bagi kepentingan manusia baik produk langsung  maupun produk tidak langsung, yang sebagian telah di manfaatkan oleh masyrakat. Manfaat langsung seperti bahan baku, bahan bangunan, alat penangkapan ikan, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Produk tidak langsung seperti tempat rekreasi dan sebagainya.
2.3. Potensi  Sumberdaya   Gastropoda
2.3.1.  Moluska
       Mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar seperti primata, reptelia dan burung. Selain sebagai tempat berlindung  dan mencari makanan, mangrove juga merupakan tempat berkembang biak bagi burung air. Bagi berbagai jenis ikan dan kepiting , perairan mangrove merupakan tempat ideal sebagai daerah asuhan, tempat mencari makanan dan tempat pembesaran anak.
       Kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan bakau adalah molusca, beberapa ikan dan kepiting. Moluska di wakili oleh sejumlah siput, suatu kelompok yang umumnya hidup pada akar dan batang pohon bakau (Littorinidae) dan lainya pada lumpur di dasar akar mencakup sejumlah pemakan detritus (Ellobiidae dan Potamididae). Sedikit yang diketahui tentang sumbangan  siput-siput ini pada mangal. Kelompok  kedua dari molusca termasuk bivalva. Yang dominan dari bivalva adalah tiram. Mereka melekat pada akar – akar bakau, tempat mereka membentuk biomassa yang nyata (Nyabakken, 1988  dalam Bengen, 2003).
     Molusca termasuk kelompok avertebrata yang terbagi dalam beberapa kelas. Molusca banyak ditemukan di daerah mangrove. Dalam filum molusca, gastropoda adalah yang paling banyak jenisnya, dimana sekitar 53.000 spesies yang telah di ketahui dan kurang dari 15.000 spesies dalam bentuk fosil (Barnes, 1967  dalam Noor  dkk, 1999). Di Indonesia terdapat sekitar 1500 jenis yang menempati berbagai jenis habitat sehinga dianggap sebagai kelompok yang paling sukses (Nontji, 2002). 
       Budiman  (1985) dalam Noor, dkk  (1999), mencatat sebanyak 91 jenis molusca  hanya dari satu tempat saja di Seram Maluku jumlah tersebut termasuk 33 jenis yang biasanya terdapat pada karang, akan tetapi juga sering mengunjungi daerah mangrove. Beberapa dari 91 jenis molusca tersebut diketahui hidup di dalam tanah, sementara yang lainnya ada hidup di permukaan ada pula yang hidup menempel pada tumbuh tumbuhan. Di lokasi lain, keanekaragaman jenis molusca tidak sebanyak di Seram  contohnya di Halmahera ditemukan 40 jenis. Sebanyak 24 jenis yang di temukan Budiman (1997), merupakan jenis-jenis yang hidup di daerah mangrove sehinga dapat di katakan sebagaian besar dari jenis-jenis molusca tersebut hidup di daerah mangrove.
       Semua gastropoda yang termasuk pemanjat pohon, bergerak aktif turun dan naik mengikuti pasang surut. Umumnya selama air pasang mereka bergerak ke atas sampai ketinggian sedikit di atas air pasang dan bergerak turun kebagian bawah pohon atau merayap di lantai hutan ketika air surut (Budiman, 1997).
2.4. Parameter Lingkungan
    Kehidupan suatu organisme sangat bergantung pada faktor lingkungan dimana organisme itu berada, lingkungan laut salah satunya yang sering berubah  atau dinamik. Aslan (1991) menyatakan bahwa faktor lingkungan, seperti suhu, salinitas, pH air dan pH tanah. dan lain - lain merupakan faktor pendukung dalam kehidupan organisme.
2.4.1. Suhu
    Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan yang memainkan peranan penting dalam pembentukan dan kelangsungan hidup komunitas tumbuhan, termasuk alga laut. Suhu berpengaruh terhadap proses  fotosisntesis, respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Luning (1990)  dalam Ismail (2000) menyatakan bahwa kecepatan fotosintesis berlipat ganda jika suhu bertambah 100C dan tidak di batasi oleh pemasukan cahaya matahari dan karbon dioksida. Lebih lanjut Nontji (2003) menyatakan suhu di perairan Indonesia berkisar antara 29-300C. Sedangkan Luning (1990)  dalam Talakua (2007) menyatakan bahwa suhu untuk pertumbuhan alga laut di daerah tropis berkisar 28-310C. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan alga laut sulit untuk bertahan lama.
     Untuk gastropoda, Carley (1990) menyatakan bahwa kisaran suhu yang ideal untuk pertumbuhan dan reproduksi gastropoda  pada umunya adalah 25- 32 0C. Lebih lanjut Menurut Dharma (1988) bahwa kisaran yang optimal untuk pertumbuhan gastropoda berkisar 21-27 0C. Sedangkan untuk ikan magrove Wattimury (2006) menyatakan bahwa kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan ikan mangrove  berkisar  29-32 0C.
2.4.2. Salinitas
     Salinitas adalah jumlah (gram) zat-zat yang terlarut dalam 1 kg air laut (Hutabarat, dkk, 1985 dalam Parinsi, 1997). Pada umunya permukaan laut mempunyai salinitas yang lebih besar dari pada lapisan – lapisan  yang lebih dalam. Salinitas di laut secar umum antara 33-37 ‰, sedangkan salinitas permukaan di daerah dengan curahan tinggi, atau dimana ada pengenceran oleh sungai, dan dalam daerah semi tertutup dapat mendekati nol (Nybakken, 1988). Carley  (1988)  dalam Dharma (1992) menyatakan bahwa salinitas yang optimal untuk kehidupan gastropoda berada pada kisaran 28-34 ‰. Untuk ikan mangrove, Sabtu (2008) menyatakan bahwa kisaran salinitas yang optimum untuk pertumbuhan berkisar 33-35 ‰.
     Setiap spesies alga mempunyai toleransi yang berbeda  terhadap perubahan salinitas. Pada daerah estuari, jarang sekali di temukan alga laut karena daerah ini memiliki salinitas yang rendah akibat adanya percampuran air laut dengan air tawar (Labbon dan Harrison, 1994  dalam Ismail, 2000). Umunya spesies alga yang hidup pada daerah dimana kisaran salinitasnya selalu berubah-ubah di tandai dengan keanekaragaman spesies yang rendah sebaliknya yang hidup pada daerah yang kisaran salinitasnya normal dan stabil memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi (Luning, 1990 dalam Ismail, 2000).  Alga yang terdapat di daerah sublitolral laut hidup kisaran salinitas yang konstan yaitu 30-35 ‰ (Lobban dan Harrison, 1990 dalam Talakua, 2007).
2.4.3. pH (Derajat Keasaman)
      pH digunakan untuk menyatakan hubungan keeratan dengan kosentrasi ion hidrogen  pH juga merupakan indikasi asam atau basah suatu perairan. Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa pH air normal berada pada kisaran 7,2-8,1. pH air yang demikian masih layak untuk semua kehidupan.
Untuk gastropoda, Gasper (1990) dalam Parinsi (1997) menyatakan bahwa gastropoda umumnya membutuhkan pH air antara 6,5-8,5 untuk kelangsungan hidup dan reproduksi. Untuk kehidupan  makroalga,  Kuncoro (2004) menyatakan bahwa derajat keasaman (pH air) yang baik bagi pertumbuhan makroalga berkisar 7,9-8,3. Sedangkan untuk ikan magrove, Sabtu (2007) menyatakan bahwa kisarasn pH air yang ideal untuk pertumbuhan ikan mangrove berkisar 7.
Untuk derajat keasaman (pH) subsrat, Abubakar (2007) menyatakan bahwa kisaran pH (subsrat) yang ideal untuk pertumbuhan optimum gastropoda berkisar antara 6,0-6,2. Sedangkan jenis subsrat, Lind (1975) dalam Soewignyo (1989), menyatakan bahwa organisme gastropoda menyenagi dasar perairan dengan subsrat dasar berlumpur, berpasir, berbatu dan kerikil.

                                                    III. METODOLOGI  PENELITAN
3.1. Tempat dan Waktu
      Praktek  ini dilaksanakan di Pulau Dondrotu Kecamatan Jailolo Selatan dan waktu pengambilan data dilaksanakan pada   28 Mei 2011.
     
3.2. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan  yang digunakan dalam menunjang  praktikum dapat di lihat pada table 1.
Tabel 1. Alat dan Bahan yang di Gunakan Dalam Praktek
No    Bahan dan Alat    Ukuran dan Merek    Kegunaan
1    Tali Transek    Tali Plastik    Pedoman dalam pengambilan Sampel Gastropoda
2    Kantong Plastik    Dapat memuat 500 G    Sebagai wadah penampung Gastropoda
3    Hand Refraktometer    Atago    Mengukur Salinitas perairan
4    Soil Tester        Mengukur pH tanah
5    pHep Waterproof    Hanna    Mengukur Suhu dan pH air
6   Kamera Digital    Panasonic    Memotret situasi atau fenomena yang berkenaan dengan kegiatan penelitian
7  Buku identifikasi    Dharma ( 1988 ); Carpenter and Niem ( 1998 )     Pedoman dalam identifikasi gastropoda
8    Alat tulis menulis    Notes Kiky dan snowman gel V-3 0,5    Mencatat hasil pengamatan pengambilan sampel
9    Kaliper elektrik digital        Mengukur tinggi tubuh Gastropoda
10    Gastropoda        Sebagai obyek penelitian

3.3. Metode Pengambilan Data
      Pengambilan sampel organisme dilakukan pada saat air surut dengan menggunakan metode kuadran. Lintasan terdiri dari 3 buah dengan tiga titik pengambilan sampel yaitu zona intertidal bagian depan (ZIBD), zona intertidal bagian tengah (ZIBT) dan zona intertidal bagian belakang (ZIBB). Pada setiap titik penarikan contoh itu dipasang tali secara horizontal yaitu sejajar dengan garis pantai. Kemudian pada setiap titik penarikan contoh, 3 buah kuadran berukuran 5m x 5m diletakan secara acak.
Seluruh organisme yang berada pada akar, batang,ranting,daun dikumpulkan. Pengumpulan organisme yang berada pada pohon mangrove dibatasi pada ketinggian 0-2,5 meter. Sampel yang tealah diperoleh kemudian dimasukan kedalam kantong plastik/wadah yang sudah di beri label, dan diawetkan dengan larutan formalin 10% atau alkohol 70%, selanjutnya diidentifikasi, dihitung jumlah individu setiap spesies.
Parameter lingkungan yang diukur pada setiap lokasi penelitian yaitu suhu, salinitas, pH air dan pH tanah. Pengukuran suhu dan pH air dengan menggunakan pHep Waterproof, salinitas dengan menggunakan Hand refraktometer sedangkan pH tanah dengan menggunakan Soil Tester. Pengukuran parameter lingkungan pada saat penarikan contoh dilakukan pada beberapa titik lokasi yang berbeda.
3.4. Metode Analisa Data
      Untuk mengukur struktur komunitas organisme hutan mangrove, yang meliputi Kepadatan, Pola sebaran, Keanekaragaman, Indeks dominan, Indeks kemerataan, serta Indeks komunitas. Maka digunakan beberapa analisis yaitu :
3.4.1. Kepadatan (D) (Krebs, 1989)

Dimana :
        D = Kepadatan setiap jenis (ind/m2 )
        X = Jumlah individu tiap jenis (Ind)
        A = Luas areal yang terukur dengan kuadran (m2)

3.4.2. Pola Sebaran ( Krebs, 1989 )
Untuk mengetahui pola sebaran jenis suatu organisme pada habita :


Keterangan :
Id     = Indeks sebaran Morisita
n     = Jumlah kuadran pengambilan jenis ke-i
xi     = Jumlah individu pada kuadran jenis ke-i
xi    = Jumlah kuadrat total individu jenis ke-i

Dengan ketentuan
Id     =    l : pola sebaran acak
Id     <    1 : pola sebaran seragam
Id     >    1 : pola sebaran mengelompok
Uji lanjut bisa dilakukan dengan perbandingan nilai Indeks Morisita yang dibakukan (Id) dengan konstanta 0,5 berdasarkan nilai-nilai pada batas kepercayaan 95%. Prosedur penelitian sebagai berikut :
Penetapan 2 titik signifikan (tingkat nyata) yaitu:
Indeks penyebaran seragam       
Indeks penyebaran mengelompok   
keterangan:
X2  =     Nilai Chi Kuadrat dari tabel pada derajat bebas (n-1) dengan 1 =  0,975 dan 2 = 0,025.
Perhitungan Indeks Morisita yang distandarisasikan dengan ketentuan sebagai berikut
Jika, Id ≥ Mc > 1,0 maka     Ip =  0,5 + 0,5 
Jika, Mc ≥ Id > 1,0 maka     Ip =       0,5     
Jika, 1,0 > Id > Mu maka     Ip =       -0,5    
Jika, 1,0 > Mu > Id maka     1p =       -0,5    
Indeks Morisita yang distandarisasikan memiliki kisaran dari -1,0 sampai dengan +1,0 dengan batas kepercayaan 95 % pada -0,5 dan + 0,5.
Jika, Ip = 0, maka populasinya menyebar acak
Jika, lp > 0, maka populasinya menyebar mengelompok
Jika, lp < 0, maka populasinya menyebar seragam.
3.4.3. Indeks Keanekaragaman, menurut Ludwig dan Reynolds (1989)

Dimana :   
    H' = Indeks Keanekaragarnan spesies
    ni  = Jumlah individu setiap spesies
    N  = Jumlah Total Individu
Kriteria keanekaragaman jenis :
H' < 1        = Keaneragaman rendah
1 < H' < 3       = Keanekaragaman sedang
H'> - 3        = Keanekaragaman tinggi
3.4.4. Indeks Dominan, menurut Ludwig dan Reynolds (1988)
C'    = 
Dimana :
C'   = Indeks Simpson            
ni   = Jumlah Individu setiap spesies    
N   = Jumlah Total Individu seluruh spesies
Dengan Kriteria :
Nilai C berkisar 0 – 1.
Jika C mendekati 0 berarti hampir tidak ada spesies yang mendominasi.
Apabila nilai C mendekati 1 berarti adanya salah satu spesies mendominasi.
 3.4.5. Indeks Kemerataan ( Wibsono, 2005).

Dimana :
        E    = Indeks Kemerataan
        H’    = Indeks Shannon
        Hmax    = Ln S
        S    = Jumlah Taksa 
Dengan kriteria :
> 0,81            = Penyebaran jenis sangat merata.
0,61-0,80        = Penyebaran jenis lebih merata.
0,41-0,60        = Penyebaran jenis merata.
0,21-0,40        = Penyebaran jenis cukup merata.
<0,21            = Penyebaran jenis tidak merata.
3.4.6. Indeks Kesamaan Komunitas, (Odum, 1989).
Kesamaan komunitas antara stasiun menggunakan Koefisien binari dengan metode kesamaan Sorensen (Krebs, 1989) atau indeks Kesamaan Dice (Luwig & Reynolds) yaitu:
                  S(AB) = 2a/(2a + b +c)
Hasil perhitungan berkisar antara angka 0 – 1. Angka 0 menunjukan jenis yang terdapat pada kedua komunitas berbeda, sedangkan angka 1 menunjukan jenis yang terdapat pada kedua komunitas sama (identik).

                                                  
                                                           IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Lokasi Praktikum
       Dondrotu merupakan satu dari beberapa pulau yang terletak dibagian Utara Desa Sidangoli Dehe  yang Secara administrative Desa Sidangoli Dehe bagian Selatan berbatasan dengan laut Halmahera, sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sidangoli Gam, sebelah Timur berbatasan dengan Desa Ake Jailolo, sebelah barat berbatasan dengan Desa Damato. Sedangkan Stasiun penelitian secara geografis berada pada posisi 00° 87'38,3" LU dan 127° 49'76,1"BT
Pulau Dondrotu juga salasatu pulau  yang termasuk takberpenghuni atau jauh dari pemukiman masarakat sehingga dari segi ekosistem merupakan pulau yang habitatnya dalam hal ini hutan mangrove, bisa di katakan masi alami bagi organisme yang hidup didalamnya.
Selain hutan mangrove, ekosistem pesisir lain yang ditemukan di pulau dondotu yaitu ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang. Sedangkan jenis subsrat yang di temukan meliputi lumpur, pasir berlumpur, pasir dan pasir bercampur patahan karang dan barbatu dengan karakteristik garis pantai landai.
4.2. Parameter Lingkungan
     Pengukuran parameter lingkungan berupa salinitas perairan, pH air serta suhu  dilakukan bersamaan dengan pengambilan sample. Hasil dari pengukuran parameter lingkungan tersebuat dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Parameter Lingkungan di Pulau Donrotu.
Waktu Pengukuran
( WIT )    Parameter Lingkungan
    Suhu (oC)    Salinitas (%)    pH Air    pH Air
9.00    28    29    7,4    6,0
Kisaran    28-30    29-30    7,0-74    6,0-6,3
   
       Dari tabel diatas menunjukan bahwa kisaran parameter linkungan pada stasiun penelitian, terlihat bahwa kisaran air 29-30°C, salinitas air yaitu 29-30‰, pH air 8,0-8,4. Sedangkan pH tanah 6,0-6,3.
Perbedaan kisaran suhu antara lintasan ini ada kaitanya dengan perbedaan radiasi matahari terhadap pemanasan perairan dimana pada stasiun tertentu terlindung oleh vegetasi mangrove sementara pada stasiun yang lain terbuka, sedangkan tingginya  Kisaran salinitas pada stasiun pengamatan  di sebakan oleh pengaruh evoporasi/ penguapan air laut lebih besar jika di bandingkan dengan titik yang lainya karena pada stasiun ini tidak terlindung oleh fegetasi hutan mangrove sehinga penguapan lebih besar dapat terjadi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kusumana (1997), bahwa salinitas bervariasi dari hari ke hari dan dari musim ke musim. Pada siang hari, musim kemarau dan waktu pasang salinitasnya lebih tinggi dari pada waktu pagi dan malam hari musim penghujanan dan waktu surut. Lebih lanjut Sabar (2004), menjelaskan bahwa tingginya salinitas suatu perairan, di sebabkan karena limpasan air laut lebih banyak dan berhubungan dengan laut lepas. Sedangkan untuk kisaran pH tidak mengalami perubahan yang berarti, dan dapat dikatakan bahwa derajat keasaman yang berada pada stasiun penelitian dikatakan netral.
Dari hasil pengukuran parameter lingkungan parameter lingkungan tersebut masih dianggap layak bagi kelangsungan hidup jenis-jenis gastropoda yang ditemukan. Dharma (1988) menyatakan bahwa dalam kondisi ekstrim gastropoda (siput) mampu hidup pada suhu 43°C. Nontji (2005) menyatakan bahwa suhu air permukaan di perairan nusantara kita umumnya berkisar antara 28-31°C.
4.3. Distribusi dan Komposisi Jenis Gastropoda
4.3.1. Distribusi
    Dengan komposisi jenis yang  lebih tinggi dibandingkan organisme yang lain. Dimana 19 spesies Gastropoda dari 3 Ordo yang ditemukan masing – masing : (Mesogastropoda) sebanyak 9 spesies, (Archaeogastropoda) sebanyak 6 spesies, (Neogastropoda) dengan jumlah 2 spesies. Komposisi dan distribusi jenis organisme yang ditemukan lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.









Tabel 3. Distribusi Jenis Gastropoda.
No    Spesies                               Distribusi Habitat
        Akar    Batang    Ranting    Daun    Substrat
1    Chicoreus capucinus    +    +    -    -    -
2    Turbo cidaris    -    +    -    -    +
3    Terebralia sulcata    +    +    -    -    +
4    Littorinidae scabra        -    -    +    -
5    Neilonella dubia    -    -    -    -    +
6    Euchelus atratus    +    +    -    -    +
7    Littorina melananama    -    -    -    +    -
8    Clypeomorus coralium    -    -    -    -    +
9    Telescopium telescopium    -    -    -    -    +
10    Clancolus atropurpureus    +    +    -    -    +
11    Nucula semiornata    -    -    -    -    +
12    Trochus californicum    -    -    -    -    +
13    Nerita polita    +    +    -    -    -
14    Cerithium cobelti        +    +    -    -
15    Quoyla decollate    +    +    -    -    -
16    Nerita exuvia        +    -    -    -
17    Turbo broneus    +    -    -    -    +
18    Scutun unguis    -    -    -    -    +

      Berdasarkan tabel diatas, jumlah distribusi pada akar sebanyak 7 (tujuh)  spesies yaitu ( Chicoreus capucinus, Terebralia sulcata, Euchelus atratus, Clancolus atropurpureus, Nerita polita,Quoyla decollate, Turbo broneus ). Pada batang sebanyak 9 (Sembilan) spesies (Chicoreus capucinus, Turbo cidaris, Terebralia sulcata, Littorinidae scabra, Euchelus atratus, Clancolus atropurpureus, Nerita polita, Ceritium cobelti, Quoila decolate, Nerita exuvia).Ranting sebanyak 1 (satu) spesies ( Cheritium cobelti ). Pada daun sebanyak 2 (Dua) spesies ( Littorinidae scabra, Litorina melananama ). Sementara pada substrat, denngan jumlah 11 (Sebelas) spesies yaitu ( Turbo cidaris, Terebralia sulcata, Neilonella dubia, Euvhelus atratus, Clypeomorus coralium, Telescopium telescopium, Clancolus atropurpureus, Nucula semiornata, Trocus californicum, Turbo bruneus, Scutun unguis). Dimana distribusi tertinggi yang paling dominan adalah pada substrat, dengan tiga jenis mangrove. ( Rizhopora apiculata, Soneratia alba,dan avicinia sp ).















Tabel 4. Komposisi Jenis Gastropoda di Pulau Donrotu.
No    Spesies    Ordo    Genus    Famili
1    Chicoreus capucinus    Neogastropoda    Murex    Muricidae
2    Turbo cidaris    Mesogastropoda    Balma    Turbinidae
3    Terebralia sulcata    Mesogastropoda    Telescopium    Potaminidae
4    Littorinidae scabra    Mesogastropoda    Littorina    Littorinidae
5    Neilonella dubia           
6    Euchelus atratus    Archaeogastropoda    Euchelus    Trochidae
7    Littorina melananama    Mesogastropoda    Littorina    Littorinidae
8    Clypeomorus coralium    Mesogastropoda    Cerithium    Cerithiidae
9    Telescopium telescopium    Mesogastropoda    Telescopium    Potamididae
10    Clancolus atropurpureus    Archaeogastropoda    Euchelus    Trochidae
11    Nucula semiornata           
12    Trochus californicum    Archaeogastropoda    Euchelus    Trochidae
13    Nerita polita    Archaeogastropoda    Nentopsis    Neritidae
14    Cerithium cobelti    Mesogastropoda    Cerithium    Cerithiidae
15    Quoyla decollate    Mesogastropoda    Planaxis    Planaxidae
16    Nerita exuvia    Archaeogastropoda    Nentopsis    Neritidae
17    Turbo broneus    Mesogastropoda    Balma    Turbinidae
18    Scutun unguis    Archaeogastropoda    Scutus    Fiscurellidae

         Komposisi jenis gastropoda yang diperoleh pada hutan mangrove pulau donrotu terdiri dari 9 famili 9 genus dan 18 spesies (tabel 4). Berdasarkan tabel 4 tersebut, menunjukan bahwa famili trochidae memiliki jumlah spesies tertinggi sebanyak 3 spesies dan terendah pada famili Littorinidae, Turbinidae, Muricidae, masing-masing dengan jumlah 1. Sedangkan untuk distribusi habitatnya gastropoda banyak ditemukan pada substrat. Substrat merupakan tempat hidup yang dominan dari ke 18 jenis yang ditemukan (lihat tabel 3).
Menurut Kartawinata dkk, (1978) bahwa salah satu gastropoda yang mendominasi ekosistem hutan mangrove adalah dari famili trochidae. famili trocidae merupakan penghuni asli hutan mangrove dan mendominasi komunitas hutan mangrove.
      Banyak atau tidaknya komposisi gastropoda di lokasi penelitian, dimungkinkan berhubungan dengan kondisi substrat atau tempat hidup dari  masing – masing spesies tersebut. Selain itu juga keberadaan factor makanan seperti detritus  dan lingkungan sangat mendukung untuk kehidupan jenis-jenis  gastropoda yang ditemukan. Menurut Hesse (1947) dalam Jamif (2007) persebaran hewan didasarkan atas faktor makanan, hewan cenderung akan tinggal di suatu daerah dimana mereka dapat dengan mudah mendapatkan makanan. Nybakken (1992) menyatakan bahwa organisme yang hidup pada suatu habitat tertentu dan cocok dengan lingkungan hidupnya akan berkembang secara baik.
      Menurut  Nontji (1993), gastropoda biasa dijumpai  di berbagai jenis lingkungan dan  bentuknya biasanya telah menyesuaikan  diri   untuk lingkungan tersebut.  Sebagian dari siput gastropoda hidup di daerah hutan-hutan bakau. Ada yang hidup di atas tanah yang berlumpur atau tergenang airnya, ada pula  yang menempel pada akar atau batangnya, malahan ada yang memanjatnya.  Ada juga yang hidup di daerah pasang surut  (Dharma, 1988). Gastropoda umumnya hidup pada permukaan tanah dan cenderung berpindah ke bawah pada saat surut dan naik kembali pada saat pasang naik (Berry, 1971).
4.4. Deskripsi Jenis
    Deskripsi jenis gastropoda di Pulau Dondrotu :
4.4.1. Chicoreus capucinus
    Bentuk cangkang turbinat. Pinggiran bibir dalam mempunyai gerigi yang kasar. Pada columella terdapat tiga atau lebih gerigi yang besar . Pembungkus  cangkang kasar dan. Bagian luar terukir dengan sejumlah tonjolan yang menonjol berbentuk seperti duri. Variasi warna secara umum hijau menghitam, kadang-kadang. Hidup di pasir, dan pada karang  yang hancur. Terdapat di perairan Indonesia (Gambar 1).




Gambar 1. Chicoreus capucinus
4.4.2. Turbo cidaris
Bentuk cangkang turbinat. Columela dan tepi bibir dalam licin. Tiap lingkaran  tubuh pada cangkang  terukir dengan tonjolan –tonjolan yang sangat jelas . Operculum tebal dan keras . Hidup pada hancuran karang dan lumpur berpasir hutan mangrove (Gambar 2)






Gambar 2. Turbo cidaris
4.4.3. Terebralia sulcata
Lingkaran cangkang  berlekuk  seperti spiral  dan membelok  mengelilingi punggung cangkang  pada sudut kananya. Bibir  luar licin dan melebar. Berwarna  coklat gelap. Hidup di pasir , dan di pasir yang berlumpur di daerah bakau (Gambar 3)




Gambar 3. Terebralia sulcata
4.4.4. Littorinidae scabra
Bentuk cangkang turbinat. Pinggiran bibir dalam mempunyai gerigi yang rapih. Pada columella terdapat tiga atau lebih gerigi yang besar . Pembungkus  cangkang mengerut atau merapat. Bagian luar terukir dengan sejumlah tonjolan yang melingkar teratur. Variasi warna secara umum unggu menghitam, kadang-kadang krem dengan coretan-coretan hijau. Hidup di pasir, dan pada karang  yang hancur. Terdapat di perairan Indonesia (Gambar 4).

   









Gambar 4. Littorinidae scabra

4.4.5. Neilonella dubia
    Bentuk cangkang bulat mengerut. Tekstur bergaris membentuk jari-jari
Dengan permukaan yang kasar. Variasi warna kuning, putih. Hidup pada ekosistem pasir berlumpur dapat juga ditemui pada daerah pasir berbatu (Gambar  5)








Gambar 5. Neilonella dubia

4.4.6. Euchelus atratus
    Bentuk cangkang turbinat. Pinggiran bibir dalam mempunyai gerigi yang rapih. Pada columella terdapat tiga atau lebih gerigi yang besar . Pembungkus  cangkang mengerut atau merapat. Bagian luar terukir dengan sejumlah tonjolan yang melingkar teratur. Variasi warna secara umum unggu kehitaman, kadang-kadang krem dengan coretan-coretan hijau. Hidup di pasir berlumpur hutan mangrove, pada karang  yang hancur. dan akar mangrove (Gambar 6)






Gambar 6. Euchelus atratus
4.4.7. Littorina melananama
Bentuk cangkang turbinat. Pinggiran bibir dalam mempunyai gerigi yang rapih. Pada columella terdapat tiga atau lebih gerigi yang besar . Pembungkus  cangkang mengerut atau merapat. Bagian luar terukir dengan sejumlah tonjolan yang melingkar teratur. Variasi warna secara umum unggu menghitam, kadang-kadang krem dengan coretan-coretan hijau. Hidup di pasir, dan pada karang  yang hancur. Terdapat di perairan Indonesia (Gambar 7).









Gambar 7. Littorina melananama

4.4.8. Clypeomorus coralium

Puncak rendah. Bibir luar agak membelok. Tepi bibir dalam dan columela licin. Berwarna putih dengan pita yang melingkar dan terdapat goresan yang berwarna coklat cerah. Hidup pada habitat pasir dan karang (Gambar 8).


                                           









                                        Gambar 8. Clypeomorus coralium

4.4.9. Telescopium telescopium
Cangkangnya  mengerucut, dan meruncing dengan bagian  samping  lurus. Columella berputar  dengan sebuah tonjolan  pada pada pusat yang melingkar dan keras. Bagian  luar terukir  dengan beberapa alur  yang melingkar. Warnanya biru kecoklatan . Spesies  ini hidup  di pasir yang berlumpur  di daerah bakau (Gambar 9).

Gambar 9. Telescopium telescopium

4.4.10. Clancolus atroporeus

Bentuk cangkang turbinat. Pinggiran bibir dalam mempunyai gerigi yang rapih. Pada columella terdapat tiga atau lebih gerigi yang besar . Pembungkus  cangkang mengerut atau merapat. Bagian luar terukir dengan sejumlah tonjolan yang melingkar teratur. Variasi warna secara umum unggu kehitaman, kadang-kadang krem dengan coretan-coretan hijau. Hidup di pasir berlumpur hutan mangrove, pada karang  yang hancur. dan akar mangrove  (Gambar 10).

                                       Gambar 10. Clancolus atroporeus
4.4.11. Nucula semiornata
    Bentuk cangkang bulat mengerut. Tekstur bergaris membentuk jari-jari dengan permukaan yang kasar. Variasi warna kuning, putih. Hidup pada ekosistem pasir berlumpur dapat juga ditemui pada daerah pasir berbatu.

                                        Gambar 11. Nukula semiornata
4.4.12. Trocus californikum
    Bentuk cangkang mengerucut, tak begtu runcing. Bagian luar sedikit kasar, cumella sedikit berputar dan keras. Berwarna putih kecoklatan. Spesies ini hidup pada ekosistem bakau Substrat yang berpasir serta berlumpur. (Gambar 12)










Gambar 12. Trocus californicum

4.4.13. Nerita polita

    Bentuk cangkanng mencekung, pinggir bibir dalam mempunyai gerigi yang rapi. Pada bagian cullumela terdapat grigi besar, pembungkus cangkang meleber atau mengepah. Varyasi warna kuning bercak – bercak hiatam, ada pula hitam bercak kuning. Hidup dipasir dan pada karang yang hancur. ( Gambar 13 )












Gambar 13. Nerita polita

4.4.14. Cherhitium cobelti
    Bentuk cangkanng mencekung, tidak mempunyai gerigi pada bagian cullumela, pembungkus cangkang meleber atau mengepah. Variasi warna hijau bercak – bercak hiatam dan pula hitam . Hidup menempel, baik pada bebatuan maupun pohon tumbang. Namun kebanyakan di jumpai pada bebatuan. (Gambarb14)









Gambar 14. Cerhitium cobelti
4.4.15. Quoyla decollata
    Bentuk cangkang turbinat. Pinggiran bibir dalam mempunyai gerigi yang rapih. Pada columella terdapat tiga atau lebih gerigi yang besar . Pembungkus  cangkang mengerut atau merapat. Bagian luar terukir dengan sejumlah tonjolan yang melingkar teratur. Variasi warna secara umum unggu menghitam, kadang-kadang krem dengan coretan-coretan hijau. Hidup di pasir, dan pada karang  yang hancur. Terdapat di perairan Indonesia (Gambar 15)






Gambar 15. Quoyla decollata

4.4.16. Nerita axuvia
Bentuk cangkanng mencekung, pinggir bibir dalam mempunyai gerigi yang rapi. Pada bagian cullumela terdapat grigi besar, pembungkus cangkang meleber atau mengepah. Varyasi warna hitam keabu – abuan bercampur bercak – bercak kuning, ada pula hitam. Hidup dipasir dan pada karang yang hancur. ( Gambar 16 )










Gambar 16. Nerita axuvia

4.4.17. Turbo broneus

Bentuk cangkang turbinat. Columela dan tepi bibir dalam licin. Tiap lingkaran  tubuh pada cangkang  terukir dengan tonjolan –tonjolan yang sangat jelas . Operculum tebal dan keras . Hidup pada hancuran karang dan lumpur berpasir hutan mangrove (Gambar 17).

















Gambar 17. Turbo broneus

4.4.18. Scutun unguis
    Bentuk cangkang bulat memanjang, pada lapisan cangkang ditumbuhi bulu halus. Variasi warna ungu kehijau – hijauwan, hitam. Mempunyai gerigi yang tajam,  hidup pada bebatuan kada menempel pada bebatangan. (Gambar 18)
   





Gambar 18. Scutun unguis


4.5. Struktur Komunitas gastropoda
4.5.1. Kepadatan jenis gastropoda
     Kepadatan adalah besarnya suatu populasi yang terdapat dalam suatu unit ruang. Populasi tersebut dihitung berdasarkan jumlah individu pada suatu luas area tertentu (Nybaken,1988).
Berdasarkan hasil analisis kepadatan jenis, menunjukan kepadatan jenis lebih tinggi pada organisme gastropoda dalam hal ini jenis Clypeomorus coralium dengan nilai kepadatan yaitu 0,19 ind/m2 sedangkan jenis terendah yaitu Scutun unguis dengan nilai 0,00 ind/m2.(Lihat gambar 19)
       Clypeomorus coralium sp memiliki nilai kepadatan jenis lebih tinggi di setiap kuadran dalam tiap lintasan. Hal ini disebapkan tipe substrat yang terdapat pada stasiun penelitian merupakan habitat dari jenis ini yaitu substrat pasir dan pasir berlumpur. Selain itu lokasi penelitian memiliki topografi pantai yang terlindung yang merupakan habitat dari jenis ini.
       Barnes, 1967  dalam Noor  dkk, 1999, menyatakan bahwa molusca dalam cllas gastropoda banyak ditemukan di daerah mangrove. Kelompok hewan lautan yang dominan dalam hutan bakau adalah molusca, beberapa ikan dan kepiting. Moluska di wakili oleh sejumlah siput, suatu kelompok yang umumnya hidup pada akar dan batang pohon bakau (Littorinidae) dan lainya pada lumpur di dasar akar mencakup sejumlah pemakan detritus (Ellobiidae dan Potamididae). Sedikit yang diketahui tentang sumbangan  siput-siput ini pada mangal. Kelompok  kedua dari molusca termasuk bivalva. Yang dominan dari bivalva adalah tiram. Mereka melekat pada akar – akar bakau, tempat mereka membentuk biomassa yang nyata (Nyabakken, 1988  dalam Bengen, 2003).

Gambar 19. Kepadatan jenis Organisme
4.5.2. Pola Sebaran
       Pola sebaran adalah kemampuan suatu organisme untuk berada pada suatu tempat yang mengikuti model tertentu berdasarkan tingkah laku dan daya adaptasi terhadap lingkungan (Ludwing dan Reynold, 1988).
         Berdasarkan hasil analisis pola sebaran organisme dengan menggunkan indeks morisita, diperoleh pola sebaran mengelompok yang berarti suatu jenis individu hanya dapat ditemukan di tempat tertentu sesuai dengan preferensi habitatnya dan pola sebaran mengelompok terjadi apabila individu – individu dari suatu populasi cenderung untuk membuat kelompok – kelompok dari ukuran tertentu, misalnya pasangan – pasangan. Hal ini diduga berhubungan dengan tipe substrat dan faktor lingkungan dimana tempat organisme itu hidup.
Tabel 5.Pola sebaran organisme di perairan hutan mangrove
No    Spesies    Indeks Morisita (Id)    (Ip)    Pola sebaran
1    Chicoreus capucinus    9    1    Menyebar mengelompok
2    Turbo cidaris    9    1    Menyebar mengelompok
3    Terebralia sulcata    9    1    Menyebar mengelompok
4    Littorinidae scabra    9    1    Menyebar mengelompok
5    Neilonella dubia    9    1    Menyebar mengelompok
6    Euchelus atratus    9    1    Menyebar mengelompok
7    Littorina melananama    9    1    Menyebar mengelompok
8    Clypeomorus coralium    9    1    Menyebar mengelompok
9    Telescopium telescopium    9    1    Menyebar mengelompok
10    Clancolus atropurpureus    9    1    Menyebar mengelompok
11    Nucula semiornata    9    1    Menyebar mengelompok
12    Trochus californicum    9    1    Menyebar mengelompok
13    Nerita polita    9    1    Menyebar mengelompok
14    Cerithium cobelti    9    1    Menyebar mengelompok
15    Quoyla decollate    9    1    Menyebar mengelompok
16    Nerita exuvia    9    1    Menyebar mengelompok
17    Turbo broneus    9    1    Menyebar mengelompok
18    Scutun unguis    9    1    Menyebar mengelompok

        Spesies dengan pola penyebaran mengelompok di sebabkan karena pada saat reproduksi, spora – spora yang di hasilkan oleh individu dewasa saat di lepaskan ke kolom air tidak terbawa arus sehingga spora – spora tersebut langsung mencapai substrat dan tumbuh menjadi individu baru yang hidup bersama dalam satu kelompok dengan individu dewasa lainnya. Selain itu pengelompokkan juga terjadi akibat perbedaan habitat setempat, ketersediaan nutrien berupa zat hara, faktor fisik maupun kimia serta respons terhadap perubahan cuaca harian dan musiman (Manginsela dkk., 1993 dalam Subur, 2004). Selain beberapa faktor tersebut, pola mengelompok dianggap sebagai respons terhadap ancaman predator. Organisme yang hidup secara mengelompok memiliki mortalitas yang rendah selama keadaan buruk atau adanya serangan oleh organisme lain bila di bandingkan dengan organisme yang hidup terpisah (Odum, 1996). Selanjutnya Ludwig dan Reynolds (1988) dalam Subur (2004) menyatakan bahwa pengelompokan terjadi bila individu – individu sejenis berkumpul pada habitat yang sesuai. Terjadinya berbagai bentuk pola penyebaran disebabkan interaksi – interaksi antara pergerakan individu dan peluang individu tersebut untuk dapat hidup pada suatu tempat tertentu (Mc Naughton dan Wolf, 1990 dalam Subur, 2004). Selanjutnya di jelaskan bahwa individu dua spesies yang berbeda yang sampai pada suatu lokasi yang secara ekologis sama, tidak selalu beradaptasi sama untuk hidup dalam habitat tersebut.  
Berdasarkan indeks morisita (Id) dan uji standarisasi morisita (Ip), yang semu jenis memiliki nilai yang sama.
4.5.3. Keanekaragaman (H’)
      Keanekaragaman jenis adalah suatu gambaran tentang perubahan – perubahan jenis yang terdapat didalam komunitas dan perubahan dalam pola distribusi dari individu – individu dalam satu jenis (Cox, 1967 dalam Umiyanti, 2004). Berdasarkan hasil analisis keanekaragaman jenis organisme di hutan mangrove memiliki keanekaragaman jenis yang rendah dimana nilai total dari semua jenis organisme yang  adalah 2,255. Sedangkan untuk keanekaragaman jenis masing-masing individu jenis yang memiliki keanekaragaman tertinggi adalah Clypeomorus coralium dengan nilai H = 0,3219 dan keanekaragaman jenis terendah adalah Scutun unguis dengan nilai H = 0,025 (gambar 20). Odum (1971) dalam Umiyanti (2004) menyatakan bahwa suatu komunitas memiliki nilai keanekaragaman jenis yang tinggi apabila indeks shanonnya mencapai 4,0. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa komunitas organisme yang ditemukan di ekosistem hutan mangrove Donrotu masih dikategorikan rendah.

Gambar 20. Keanekaagaman jenis Organisme
4.5.4 Dominasi dan Kemerataan Jenis
       Indeks dominansi merupakan angka yang menggambarkan dominansi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Odum (1996) mengatakan bahwa indeks dominansi (C’) mendekati 0 berarti hampir tidak ada genus yang mendominasi dan apabila nilai indeks dominansi mendekati 1 berarti adanya salah satu spesies yang mendominasi.selajutnya wibisono (2005), menyatakan bahwa nilai kemeratan >0,81 menunjukan penyebaran jenis sangat merata, 0,61 sampai 0,60 penyebran jenis lebih merata, 0,41 sampai 0,60 penyebaran jenis merata, 0,21 sampai 0,40 penyabaran  jenis cukup merata, sedangkan < 0,02 menunjukan penyebaran jenis tidak merata.
      Berdasarkan hasil analisis indeks dominansi jenis C = 0,0041 serta kemerataan jenis E = 0,876 ini menunjukan bahwa jenis organisme pada stasiun praktikum tidak terdapat jenis yang mendominasi karena C’ mendekati 0. Dan kemerataan jenis menunjukan penyebaran jenis sangat merata (Tabel 6).







Tabel 6. Dominasi (C) dan Kemerataan Jenis (E) 

No    Spesies    Jumlah Individu (ni)    Jumlah Total (N)    Dominasi ( C )    Kemerataan Jenis (E)=H'/Mmax
                (ni/N)2   
1    Chicoreus capucinus    4    180    0.0846       
2    Turbo cidaris    10    180    0.1606    H' =    2.5329
3    Terebralia sulcata    15    180    0.2071    Hmax =    2.9444
4    Littorinidae scabra    20    180    0.2441       
5    Neilonella dubia    2    180    0.0500       
6    Euchelus atratus    18    180    0.2303   
7    Littorina melananama    2    180    0.0500       
8    Clypeomorus coralium    42    180    0.3396       
9    Telescopium telescopium    4    180    0.0846       
10    Clancolus atropurpureus    15    180    0.2071       
11    Nucula semiornata    3    180    0.0682       
12    Trochus californicum    4    180    0.0846       
13    Nerita polita    3    180    0.0682       
14    Cerithium cobelti    11    180    0.1708       
15    Quoyla decollate    18    180    0.2303       
16    Nerita exuvia    3    180    0.0682       
17    Turbo broneus    5    180    0.0995       
18    Scutun unguis    1    180    0.0288    0.860231785

    Total    180        2.4766       

4.5.5. Kesamaan Komunitas
     Hasil analisis indeks kesamaan  komunitas gastropoda pada ekosistem mangrove diperoleh nilai S = 0,786. Hal ini menunjukkan bahwa kedua lokasi tersebut tidak memiliki kesamaan komunitas. Ini disebapkan karena kedua stasiun  praktikum tersebut memiliki karateristik habitat yang berbeda, dimana pada ekosistim hutan mangrove memiliki karateristik  habitat yang heterogen berupa substrat berpasir, pasir berlumpur dan pasir bercampur pecahan karang.Odum(1996), menyatakan bahwa ekotone adalah peralihan antara dua atau lebih komunitas yang berbeda, dan perbedaan ini dapat terjadi sebagai akibat dari pengaruh tipe habitat.  

                                                   V. KESMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum serta identifikasi, maka di tarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Organisme gastropoda memiliki komposisi jenis yang lebih tinggi yaitu sebanyak 18 jenis yang terdiri dari 3 jenis devisi. Neogastropoda, Mesogastropoda, Archaeogastropoda. Dimana jenis individu tertinggi adalah Clypeomorus coralium, dan terendah pada jenis Scutun unguis.
2. Keanekaragaman jenis organisme yang ditemukan tergolong rendah.
3. Jenis-jenis organisme dalam hal ini gastropoda pada lokasi praktikum
memiliki penyebran jenis yang merata yaitu penyebaran mengelompok.
3. Indeks kesamaan komunitas gastropoada antara kedua lokasi menunjukan perbedaan komunitas.
4.2. Saran
      Organisme molusca dalam hal ini gastropoda merupakan salastu sumberdaya hayati laut yang bernilai ekonomis penting, begitupun hutan mangrove. Oleh karena itu, keberadaan jenisnya perlu dijaga dan dimanfaatkan secara lestari.

                                                          DAFTAR PUSTAKA
.
Bangen, D. G. 2003. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut (Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia). Gradia Pustaka Utama. Jakarta.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu, 2001. Penegelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta.
Dharma B., 1992. Siput dan Keong. Indonesia. Indonesia Shells I. PT. Sarana Graha. Jakarta Indonesia.
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendektan  Ekologi. Penerbit PT.  Gramedia, Jakarta.
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta
Odum, E.P. 19966. Dasar-dasaer Ekologi. Edisi ketig. Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.
Supriharyono, 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati (Di wilayah pesisir dan lautan tropis). Pustaka Pelajar.Yogyakarta.

















1 komentar: